Saya sebenarnya harus terus banyak belajar, tetapi dalam keadaan sepintas lalu, saya bisa menyimpulkan “duel dalam satu sarung itu” merupakan simbolik dari akar budaya kita, yang berkaitan dengan subtansi yang bernama siri dan pacce itu. Siri berkaitan dengan dimensi dignity (kehormatan martabat) untuk ditegakkan terus, kemudian pacce itu merupakan dimensi kemanusiaan. Artinya, walaupun kita dalam keadaan mencabut badik dalam menegakkan harga diri, maka pada saat yang sama, dimensi kemanusiaan juga harus ditegakkan.
Karena itu ada semacam nilai empati, nilai penghargaan kita kepada eksistensi orang lain.Tetapi, di tengah tarik menarik antara penegakan harga diri (dignity) berhadapan dengan penegakan dimensi kemanusiaan, keharuan terhadap orang lain pun muncul. Di sinilah bagaimana manusia Sulawesi Selatan, khususnya Bugis-Makassar, mengalah dan mengelola eksistensinya (keberadaannya) untuk bisa mengambil jalan kearifan untuk dapat mengambil suatu langkah.
Ini spesifik budaya Bugis-Makassar, ketika konflik tidak bisa lagi dihindari, maka harga diri harus ditegakkan dengan cara saling meniadakan nyawa. Di saat seperti itu konflik berdarah mengacu kepada orientasi sebuah ujian kemuliaan manusia.
Dari sinilah bertolak duel satu sarung itu. Sebenarnya, duel satu sarung yang berlatar siri dan pacce ini banyak disalahpahami, disalahtafsirkan oleh banyak generasi baru kita. Kearifan-kearifan diletakkan oleh orang-orang tua kita, leluhur-leluhur kita dalam duel maut tersebut. Banyak ditafsirkan salah, siri dan pacce bahkan diidentikkan sebagai hasrat untuk membunuh. Menganggap menegakkan siri tidak lain harus diselesaikan di ujung badik.
Padahal duel di sini bisa dimaknai lebih luas dan dalam: duel spiritual, duel kultural, duel kemanusiaan untuk menegakkan harga diri dan martabat sebagai hamba Allah. Jadi implementasinya dari kearifan itu tadi, kita membela diri atau menegakkan kehormatan sebagai eksistensi hamba yang mulia. Jadi, kemuliaan manusia itu yang harus dibela jadi jangan sampai ada yang saling menzalimi antar sesama manusia.
Kalau tak ada realitas, di masa-masa lalu, duel satu sarung hubungannya dengan penyelesaian sebuah konflik yang tidak bisa lain kecuali harus mencabut badik dengan masuk dalam sarung untuk berduel adalah suatu simbolik, pengukuh atas kemuliaan seseorang sebagai manusia. Nah, hubungannya dengan itu, lalu apa yang disebut duel? Duel sering diasosiasikan sebagai pertarungan fisik. Duel identik dengan pertempuran fisik. Padahal di sini, yang lebih subtansial, adalah spirit dari duel itu sendiri, bahwa di balik itu ada kemuliaan yang ditegakkan. Proses penegakan kemuliaan itu juga harus mulia dalam prosesnya bukan hanya target yang mulia tetapi juga proses ke arah itu.
Kalau tak ada realitas, di masa-masa lalu, duel satu sarung hubungannya dengan penyelesaian sebuah konflik yang tidak bisa lain kecuali harus mencabut badik dengan masuk dalam sarung untuk berduel adalah suatu simbolik, pengukuh atas kemuliaan seseorang sebagai manusia. Nah, hubungannya dengan itu, lalu apa yang disebut duel? Duel sering diasosiasikan sebagai pertarungan fisik. Duel identik dengan pertempuran fisik. Padahal di sini, yang lebih subtansial, adalah spirit dari duel itu sendiri, bahwa di balik itu ada kemuliaan yang ditegakkan. Proses penegakan kemuliaan itu juga harus mulia dalam prosesnya bukan hanya target yang mulia tetapi juga proses ke arah itu.
Untuk menyimpulkan duel satu sarung, sarung harus diartikan sebagai simbol persatuan dan kebersamaan. Berada dalam satu sarung berarti kita dalam satu habitat bersama. Jadi sarung yang mengikat kita bukanlah ikatan serupa rantai yang sifatnya menjerat, tetapi suatu ikatan kebersamaan di antara manusia. Ini spesifik budaya Bugis-Makassar, ketika konflik tidak bisa lagi dihindari, maka harga diri harus ditegakkan dengan cara saling meniadakan nyawa. Di saat seperti itu konflik berdarah mengacu kepada orientasi sebuah ujian kemuliaan manusia.
Jadi sarung bukan diartikan sebagai ruang sempit untuk bunuh diri, lebih-lebih bukan untuk belenggu diri. Di antara orang berduel ini di dalam kebencian itulah yang biasa disalahpahami oleh kita semua ini. Bagaimana menegakkan siri dan pacce dengan simbolik bertarung dalam satu sarung, dalam arti kata kita diikat oleh kebersamaan sebagai sesama manusia, mengapa mesti ada konflik yang harus berdarah-darah?
Inilah, ya, menurut saya di sinilah subtansi kebudayaan orang Sulawesi Selatan di dalam menegakkan siri, dan pacce itu, nah di dalam ikatan dengan orientasi kekinian dalam menghadapi dunia modern, kebanyakan pragmatis, berorientasi pada kebendaan, konsumerisme begitupun dalam hal berpolitik, selalu memakai ‘main kayu’.
Inilah, ya, menurut saya di sinilah subtansi kebudayaan orang Sulawesi Selatan di dalam menegakkan siri, dan pacce itu, nah di dalam ikatan dengan orientasi kekinian dalam menghadapi dunia modern, kebanyakan pragmatis, berorientasi pada kebendaan, konsumerisme begitupun dalam hal berpolitik, selalu memakai ‘main kayu’.
Jadi penegakan siri dan pacce melalui peragaan simbolik bertarung dalam satu sarung harus kita artikan satu ikatan antar sesama manusia. Di dalam berkonflikpun kita tidak bisa menampikkan atau membenci musuh kita. Kita tidak bisa mengeksploitasi lawan itu secara binatang, secara kebencian, itulah eksistensi dari kearifan budaya Bugis- Makassar. Bagaimana rupa istilah Sipakatau itu dijabarkan dalam perilaku sehari-hari, termasuk dalam perilaku budaya pada saat gawat yang bernama konflik. Di dalam konflikpun kita harus memanusiakan manusia.
Kalau kita bawa hal itu ke dalam dunia moderen seperti saat ini bagaimana kita mengulangi apa yang dikatakan oleh pakar-pakar budaya dunia seperti “Kita tidak bisa menciptakan masa kini atau masa depan tanpa adanya sejarah atau masa lalu”. Jadi sejarah merupakan guru atau panitia yang memberikan kita kearifan-kearifan.
Jadi untuk membuat keberadaban baru, perlu ada sikap kultural untuk “Discover The New In The Old”. Menemukan sesuatu yang baru, melalui proses masuk ke dalam budaya-budaya tua.
Sumber: =>
Sumber: =>